Saturday, March 31, 2012

Masalah yang dihadapi dalam otonomi daerah


Dalam era transisi kebijakan sentralistik ke desentralistik demokratis yang ditujudalam pemerintahan nasional sebagaimana ditandai dengan diberlakukannya Otonomi daerahsesuai dengan Undang-undang No. 22 tahun 1999 sejak tanggal 1 Januari 2001, memangmasih ditemui kendala-kendala yang perlu diatasi.Dari sekian kendala terdapat permasalahan yang mengandung potensi instabilitasyang dapat mengarah kepada melemahnya ketahanan nasional di daerah bahkan dapatmemicu terjadinya disintegrasi bangsa bila tidak segera diatasi. Hal itu antara lain :

1. Pembagian Urusan
Contoh permasalahan yaitu dalam pembuatan kebijikan pusat untuk daerah (FTZ).Permasalahan yang paling sering dialami oleh daerah adalah banyaknya aturan yang salingtumpang tindih antara pusat dan daerah. Akibatnya banyak aturan pusat yang akhirnya tidak  bisa diterapkan di daerah. Salah satu sebab itu adalah pusat tidak memahami keadaan yangterkini yang dialami daerah. Kondisi inilah yang diduga menjadi kendala utama belummaksimalnya pelaksanaan Free Trade Zone (FTZ) di Kepri ini. Daerah selalu menungguaturan dari pusat atau kebijakan dari pusat sehingga setelah ditunggu ternyata hasilnya selalutidak sesuai dengan apa yang diharapkan.Seharusnya hal tersebut dapat diatasi apabila pembagian urusan antara daerah dan pusat tidak tumpang tindih. Artinya, dalam pengusulan suatu konsep aturan daerah harusterlibat langsung. Atau dengan kata lain sebelum pemerintah pusat membuat aturan, daerahmemiliki tugas seperti mengajukan konsep awal yang tidalk bertentangan dengan aturan yangada di daerah. Sehingga pemerintah pusat dalam menyusun aturan, memiliki landasan yangkuat mengacu pada konsep daerah. Bila perlu pemerintah pusat hanya memiliki tugas sebagai pemeriksa dan menyetujui konsep yang diusul oleh daerah.

2. Pelayanan Masyarakat
Pada umumnya, Sumber Daya Manusia pada pemerintah daerah memilikisumber informasi dan pengetahuan yang lebih terbatas dibandingkan dengan sumber daya padaPemerintah Pusat.Hal ini mungkin diakibatkan oleh sistem kepegawaian yang masih tersentralisasisehingga Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan wewenang dalam mengelola Sumber Daya Manusianya sesuai dengan kriteria dan karakteristik yang dibutuhkan oleh suatu daerah.Sehingga pelayanan yang diberikan hanya standar minimum.

3. Lemahnya Koordinasi Antarsektor dan Daerah
Koordinasi antarsektor tidak hanya menyangkut kesepakatan dalam suatu kerja bersama yang operasional sifatnya tetapi juga koordinasi dalam pembuatan aturan. Dua halini memang tidak serta merta menjamin terjadinya sinkronisasi antar berbagai lembaga yangmemproduksi peraturan dan kebijakan tetapi secara normatif koordinasi dalam penyusunan peraturan perundangan akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sistematisdan tidak bertubrukan satu sama lain.Walaupun Kepala Daerah dalam kedudukan sebagai Badan Eksekutif Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, namun DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah tetapmerupakan partner (mitra) dari dan berkedudukan sejajar dengan PemerintahDaerah atauKepala Daerah. Masalah seperti ini pun sangat terasa di Pusat. Kesan memposisikan diri lebihkuat, lebih tinggi dari yang lainnya yang kadang-kadang disaksikan oleh masyarakat luas.Ada tiga hal yang perlu disadari dan disamakan oleh legislatif dan eksekutifdalammenyikapi berbagai perbedaan yaitu pola pikir, pola sikap dan pola tindak. Pola pikir yangharus sama adalah, kita sadar terhadap apa yang harus kitapertahankan, kita upayakan, yaituintegritas dan identitas bangsa serta berbagai upaya untuk memajukan dan mencapai tujuan bangsa. Pola sikap yaitu, bahwa setiap elemen bangsa mempunyai kemampuan dankontribusi seberapapun kecilnya. Dan pola tindak yang komprehensif, terkordinasi danterkomunikasikan.

4. Pembagian Pendapatan
UU 25/1999 pada dasarnya menganut paradigma baru, yaitu berbeda dengan paradigma lama
, maka seharusnyasetiap kewenangan diikuti dengan pembiayaannya, sesuai dengan bunyi  pasal 8 UU 22/1999.Pada saat sekarang ini, banyak daerah yang mengeluh tentang tidak proporsionalnya jumlahDana Alokasi Umum (DAU) yang diterima, baik oleh Daerah Propinsi maupun DaerahKabupaten/Kota. Banyak daerah yang DAU-nya hanya cukup untuk membayar gaji pegawaidaerah dan pegawai eks kanwil, Kandep/Instansi vertikal di daerah. Disamping itu, kriteria penentuan bobot setiap daerah dirasakan oleh banyak daerah kurang transparan. Kriteria potensi daerah dan kebutuhan daerah tampaknya kurang representatif secara langsungterhadap pembiayaan daerah. Dengan demikian perhitungan DAU yang transparan sebagaimana diatur dalam pasal7 UU 25/1999 jo PP 104/2000 tentang perimbangan keuangan terutama  pasal-pasal yangmenyangkut perhitungan DAU dan faktor penyeimbangan, kiranya  perlu ditata kembali. Kemudian, pembagian bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) dirasakan kurang mengikuti prinsip-prinsip pembiayaan yang layak yang sejalan dengan pemberian kewenangan KepalaDaerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Seperti halnya dalam paradigma lama, melalui paradigma baru pun bagian daerah selalu jauh dari Sumber Daya Alam yang kurang potensial(seperti: perkebunan, kehutanan, pertambangan umum dan sebagainya), sedangkan disektor minyak dan gas alam, hanya mendapat porsi kecil. Bagian bagi hasil di bidang iniperlu diperbesar, sehingga daerah penghasil mendapat bagian yang proporsional sebanding dengankerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksplorasi dan eksploitasi SDA tersebut.

5. anatisme Daerah (Ego Kedaerahan)
Sifat seperti ini sangat tidak baik jika ada disuatu wilayah/daerah atau dimanapun,karena hal ini dapat menimbulkan kesenjangan atau kecemburuan terhadap daerah-daerahlain.Contoh pemasalahannya kejadian yang terjadi di daerah kabupaten Anambas dalam penerimaan CPNS. Bagi pelamar CPNS minimal mempunyai 1 ijazah yang dikeluarkan olehdisdik kabupaten. Anambas baik SD, SMP, dan SMA. Hal ini dapat disimpulkan bahwaterlalu egoisnya suatu daerah yang mengutamakan putra daerah untuk dapat menjadi CPNSdalam mengembangkan daerahnya sendiri sehinnga untuk warga daerahlain tidak diberikan peluang untuk menjadi CPNS dan hal ini juga dapat menimbulkan kerugian bagi wargaAnmbas karena dapat mengurangi pendapatan mereka ( yang berjualan atau yang membukatempat-tempt kos )Solusinya sebaiknya dalam hal ini daerah Anambas tidak terlalu egois dalam penerimaan CPNS ini. Sehingga warga lain yang bukan berasal dari Anambas dapat bekerjadan dan bersaing demi memajukan daerah tersebut dan membuka peluang bagi siapapun yangmemiliki kemampuan dan skiil serta pengetahuan mereka dalam berkopetensi untuk bersaingdemi kebaikan dan memajukan daerah tersebut. Hal ini juga dapat meningkatkan pendapatanuntuk penghasilan bagi warga yang memiliki mata pencarian sebagai pedagang dan yangmemiliki rumah-rumah kos. Jika dibandinkan dengan adanya fanatisme.

6. Disintegrasi
Hal ini dapat menimbulkan perpecahan atau terganggunya stabilitas keamanannasional dalam penyelenggaraan sebuah negara. Hal ini dapat disebabkan olek ke egoisansuatu kelompok masyarakat atau daerah dalam mempertahankan suatu pendapat yangmemiliki unsure kepentingan-kepentingan kelompok satu dengan yang lain. Yang dapatmerugikan atau kecemburuan terhadap kelompok-kelompok yang lain untuk mendapatkanhak yang sama sehingga dapat memecahkan rasa persatuan dan kesatuan kita dan dapatmenimbulkan berbagai pertikaian dalam sebuah negara atau daerah tersebut.Contohnya: GAM, RMS, dan lain-lain.Solusinya sebaiknya kita sebagai warga negara yang baik harusnya tidak egois dalammempertahankan suatu hak atau pendapat antara kelompok yang 1 dengan yang lain yangdapat menimbulkan pertikaian dan mengganggu keamanan didaerah tersebut. Namun kitaharus bersatu demi memajukan daerah atau negara yang kita cintai.



No comments:

Post a Comment