Preman Jakarta, antara Kei, Ambon, Flores, Banten dan Betawi
BERDIRI menelepon di pintu pagar markasnya, rumah tipe 36 di Kaveling DKI Pondok Kelapa, Jakarta Timur, Umar Ohoitenan Kei, 33 tahun, tampak gelisah. Pembicaraan terkesan keras. Menutup telepon, ia lalu menghardik, “Hei! Kenapa anak-anak belum berangkat?”
Hampir setengah jam kemudian, pada sekitar pukul 09.00, pertengahan Oktober lalu itu, satu per satu pemuda berbadan gelap datang. Tempat itu mulai meriah. Rumah yang disebut mes tersebut dipimpin Hasan Basri, lelaki berkulit legam berkepala plontos. Usianya 40, beratnya sekitar 90 kilogram.
Teh beraroma kayu manis langsung direbus-bukan diseduh-dan kopi rasa jahe segera disajikan. Hasan mengawali hari dengan membaca dokumen perincian utang yang harus mereka tagih hari itu. Entah apa sebabnya, tiba-tiba Hasan membentak pemuda pembawa dokumen. Yang dibentak tak menjawab, malah melengos dan masuk ke ruang dalam.Umar Kei, 33 tahun, nama kondang Umar, tampak terkejut. Tapi hanya sedetik, setelah itu terbahak. Dia tertawa sampai tubuhnya terguncang ke belakang. Mendekat ke Hasan, ia ikut membaca beberapa helai kertas. Para pemuda lainnya, sekitar sepuluh orang, duduk diam. Mereka menanti sang bos menghitung “peluang bisnis” hari itu.
Setengah jam kemudian, rombongan enam orang meninggalkan mes dengan Daihatsu Xenia perak. Dua orang lainnya terpisah dengan sedan tua. Tujuan mereka satu rumah toko di kawasan Bukit Indah Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam catatan, pemiliknya seorang pemasok perusahaan pengeboran. Ia berutang Rp 3 miliar kepada pemberi order penagihan utang.
Sebelum mereka berangkat, Umar menelepon seorang petugas di Kepolisian Sektor Kelapa Gading. Ia menyampaikan rencana kedatangan anak buahnya di wilayah itu. “Ini koordinasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan,” katanya kepada Tempo.
Kepala Polsek Kelapa Gading Komisaris Donny Adityawarman mengatakan pernah mendengar nama Umar. Tapi ia mengaku belum pernah bertemu langsung. “Mungkin dia telepon anak buah saya,” katanya ketika dimintai konfirmasi. Ia menganggap penting “koordinasi” semacam itu, “Agar tidak terjadi kericuhan di lapangan.”
Mobil melaju cepat. Sopirnya sembrono, sering mengerem atau membelok mendadak. Hasan masih mengomel soal keributan kecil di mes tadi. Radio memutar musik dangdut. Di perjalanan, seorang polisi meminta mobil menepi. Mobil terus berjalan. Polisi tadi hanya mencatat pelat nomor mobil.
Di daerah Kelapa Gading, Hasan semakin bersungut-sungut. Alamat di dokumen ternyata tidak jelas. “Mana ada Jalan Kelapa Gading?” ia berkata. Anggota rombongan sibuk menelepon, menanyakan alamat yang tepat. Alhasil, mobil berputar-putar sekitar dua puluh menit, sebelum menemukan rumah tujuan.
Sebelum turun dari mobil, Hasan mengeluarkan perintah, “Itu mobilnya, jaga!” Ia menunjuk mobil Mitsubishi merah marun. Anak buahnya menyebar di sepanjang lapangan parkir. Hasan masuk menemui resepsionis. Penerima tamu kantor itu didampingi lelaki berseragam tentara dan seorang pemuda, yang juga berbadan gelap.
Si tentara mengatakan, Terro, sang pengusaha pengutang, keluar kantor. Hasan tidak percaya. Ia didampingi seorang rekannya lalu masuk dan naik ke lantai dua. Terdengar bunyi barang jatuh dan bentakan. Ia masuk ke ruang Terro, yang terkejut. Negosiasi berlangsung sekitar setengah jam. Pada akhirnya, tuan rumah berjanji akan mencicil utangnya. Cicilan pertama, Rp 50 juta, akan dibayar pekan berikutnya.
Para penagih puas, mereka lalu beranjak. Sebelum ke luar gedung, mereka menyalami akrab lelaki berseragam tentara dan pemuda di ruang tamu. Mobil lalu meluncur ke arah Manggarai. “Di sini tentara yang jaga lebih banyak,” kata Hasan. Tujuan kedua, seorang pengutang satu bank perkreditan rakyat, yang kerabatnya tentara.
Di lokasi, rombongan penagih disambut seorang lelaki-para penagih menduganya intel-dua polisi, dan dua tentara. Para penagih menyebar. Empat orang masuk halaman rumah, empat lainnya menyebar di gang berjaga-jaga. Kali ini negosiasi lebih alot. Si pengutang tidak ada di tempat. Ketika penagih menunggu, datang mobil patroli polisi dan dua lelaki berkaus tentara.
Hasan memerintahkan anak buahnya membeli nasi padang. Ia sendiri emoh makan “jika urusan belum selesai”. Tak berapa lama, muncul seorang lelaki gondrong. Ia membagi beberapa helai fotokopi buat Hasan dan anak buahnya. Isinya tawaran mediasi pada pekan berikutnya. Hasan puas dengan tawaran ini. Rombongan balik menuju mes.
Umar mengatakan telah melayani jasa penagih utang sepuluh tahun terakhir. Ia mengatakan, sebelum menerima order, “tim hukum”-nya mengkaji dulu dokumennya. Kadang kala pemberi kuasa memiliki posisi kuat. Kali lain justru sebaliknya. Ia tak menolak order dari pihak yang lemah posisi hukumnya.
Menurut dia, bagian untuk penagih utang sekitar 30 persen dari jumlah utang yang dapat ditagih. “Kadang bisa lebih jika tingkat kesulitannya tinggi,” katanya. Jika target terbilang bandel, ia punya cara menaklukkannya. Ia akan mengirim orang dalam jumlah besar ke rumah atau kantor si pengutang. “Sekadar duduk-duduk saja,” katanya.
Ia mengatakan tak pernah memerintahkan anak buahnya melakukan kekerasan. Menurut dia, sepuluh orang anak buahnya yang melakukan kekerasan langsung dikirim pulang ke kampung di Desa Kei, Maluku Tenggara. “Tidak boleh balik ke Jakarta,” ujarnya.
Umar mengatakan memiliki banyak mes sejenis di berbagai tempat di Jakarta. Tak hanya dari kampung halamannya di Ambon, ia merekrut pemuda dari daerah lain. Jika kurang orang, ia akan mengerahkan pemuda dari mes terdekat dengan lokasi penagihan.
Dua-tiga tahun terakhir, Umar meresmikan usahanya. Ia mendirikan PT Dimida Mitra Mandiri, yang berkantor di kawasan Cibubur. Perusahaan ini rencananya akan menyuplai tenaga sekuriti kantor, parkir, atau mal hingga pengerjaan proyek-proyek ringan pemerintah, seperti pengecatan.
Umar mengklaim perusahaannya mempekerjakan 4.000 orang di berbagai titik di Ibu Kota. Ia juga bermain dalam jasa penjagaan tanah sengketa. Satu aksinya sempat menarik perhatian media massa, ketika ia membela Umar bin Ramin yang bersengketa dengan PT Astra Honda Motor pada pertengahan tahun lalu.
Lahan seluas 11.370 meter persegi itu telah dipakai untuk gudang suku cadang Astra selama beberapa tahun. Padahal Umar bin Ramin merasa tidak pernah menjual lahannya. Umar Kei lantas mengerahkan sekitar empat ratus anak buahnya untuk memasuki lahan. Ujung-ujungnya, ia ditangkap dan disidang dengan tuduhan melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Tapi pengadilan membebaskannya.
Gudang perusahaan mobil itu akhirnya dirobohkan pada September tahun lalu. Kemenangan ini membuat Umar Kei sumringah. “Anda sekarang tahu siapa Umar Kei,” kata Umar kepada salah satu penasihat hukum Astra.
Penagihan utang dan penjagaan lahan sengketa merupakan satu usaha yang dilakukan para jagoan. Usaha lainnya mengelola parkir atau pengamanan kantor. Usaha ini yang dipilih Abraham Lunggana, 50 tahun. Mendirikan PT Putraja Perkasa pada awal 2000, ia masuk jasa pengelolaan parkir dan pengamanan. Putraja memiliki anak perusahaan, PT Sacom. Abraham mengklaim mempekerjakan sekitar 4.000 tenaga kerja. “Dulu sempat lebih besar dari itu,” katanya.
Anak buah Abraham-dikenal dengan panggilan Lulung-menangani pengamanan Blok F Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, tempat para pedagang kelontong. Ia mengambil alih “kekuasaan” yang sebelumnya dipegang oleh seorang jawara bernama Muhammad Yusuf Muhi alias Bang Ucu Kambing, 62 tahun.
Setiap hari, sekitar lima puluh orang berjaga dan terbagi dalam tiga shift. Ini belum termasuk petugas “pengamanan wilayah”, yang berpakaian preman. Mereka juga menertibkan pedagang yang berjualan di luar lokasi yang ditentukan. “Kadang-kadang suka ada pedagang yang buka lapak di jalan masuk,” kata Iskandar Alan, anggota staf Putraja.
Lulung mengatakan perusahaannya menangani pengamanan sejumlah area strategis di kawasan Jalan Thamrin dan beberapa tempat lain, termasuk Rumah Sakit Fatmawati. Pemuda dari perusahaan ini kebanyakan putus sekolah. “Ada juga satu-dua yang berlatar belakang kriminal,” kata Alan. “Perusahaan ini memperoleh semacam sertifikat kelayakan dari kepolisian.”
Para pemuda itu dibayar dengan standar upah minimum regional, sekitar Rp 1,2 juta per bulan. “Sedangkan manajemen memperoleh management fee dari user,” katanya. Ia menolak menyebutkan kisaran jumlahnya.
Direktur Utama PD Pasar Jaya, Djangga Lubis, mengatakan penggunaan jasa pengamanan dan pengelolaan parkir eksternal sudah diterapkan sejak setahun lalu. Ia membenarkan perusahaan Lulung memenangi tender dari perusahaan milik Ucu.
Soal mantan kriminal yang masuk menjadi sekuriti lewat perusahaan penyedia ini, Djangga mengatakan menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan penyalur. “Yang penting, ada sertifikat kelayakan dari kepolisian,” katanya. Jika layanan tidak memuaskan, “Kami tidak akan memperpanjang kontrak.”
Untuk perparkiran dan sekuriti, Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, juga menggunakan jasa Putraja. Atom Kadem, kepala unit yang melakukan proses tender, mengatakan manajemen rumah sakit mematok setoran per bulan yang wajib dipenuhi Putraja.
Di bisnis penjagaan ini, kelompok Forum Betawi Rempug juga ikut bermain. Koordinator Wilayah Jakarta Timur, Abdul Manan, mengatakan, ia bekerja sama dengan PT Target. Sejauh ini ia sudah menyalurkan tiga puluhan pemuda Betawi sebagai petugas satuan pengamanan kantor dan mal.
Untuk jasa pengamanan pasar atau mal, Umar Kei mengatakan para pemuda Ambon kurang berminat. Alasannya, harus mengenakan seragam. Ia mengatakan, “Kami punya harga diri tinggi.”
Dari Blowfish ke Ampera
KEHIDUPAN malam menggelegak ketika penduduk kota mulai terlelap. Musik berdentam di Blowfish Kitchen and Bar, City Plaza, Wisma Mulia, Jakarta Selatan. Sabtu malam akhir Oktober lalu, para clubber datang dengan kostum khusus. Ini pesta malam Halloween. Semua berlomba menjadi sosok yang seram-seram.
Pengunjung dipungut Rp 100 ribu per orang, hadiahnya segelas minuman. Sedangkan anggota klub cukup menunjukkan kartu. Hingga pukul setengah tiga dinihari, ribuan remaja menyesaki klub malam itu. “Biasanya hanya separuhnya,” kata seorang petugas keamanan di sana.
Muda-mudi berjingkrakan, sebagian perempuan menari gila-mengentakkan tubuhnya yang berbusana minim. Pakaiannya penuh belahan di sana-sini. Tak sedikit yang berdisko di sofa. Semua bangku dan kursi terisi. Jam terus berputar dan pengunjung makin membeludak.
Satu-dua mulai tumbang. Dengan terhuyung, beberapa perempuan dipapah pasangannya. Pada malam yang semakin panas, tak jarang muncul pertengkaran. Petugas segera turun tangan, tak mau keributan kecil berbuntut panjang. Seorang petugas keamanan mengatakan penjagaan diperketat untuk mencegah kekerasan seperti yang meletup pada awal April lalu.
Kisahnya bermula pada Jumat malam, 2 April silam. Ketika itu seorang pengunjung bernama Albert Altanya datang ke bar. Sumber Tempo mengatakan Albert belum memesan meja dan bersitegang dengan petugas keamanan. Entah siapa yang memulai, ia kena pukul penjaga. Manajer Operasional Blowfish, Agung Budi Santosa, mengatakan hanya anggota yang boleh masuk. “Sepertinya ada salah paham,” katanya dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pertengahan bulan lalu.
Esoknya, Agrafinus Rumatora alias Nus Kei ditelepon rekannya, Matius Roy Willa, agar datang ke Blowfish. Keduanya mengenal Albert Altanya. Nus, Matius, dan Albert-ketiganya anggota kelompok Ambon dari Kei-segera meluncur bersama belasan orang lain. Setelah memesan meja, mereka pun segera minum. Sekitar pukul 22.00, Fredi, petugas keamanan, meminta Nus menemui manajer bar. Nus menolak. Menjelang tengah malam, Fredi mengulang permintaannya.
Nus menuruti permintaan itu. Ia ternyata ditemui Roy, kepala keamanan Blowfish, yang didampingi lima anggotanya. Albert, yang terlibat keributan malam sebelumnya, datang. “Teman Roy langsung menghajarnya,” kata Nus. Teman-teman Roy di dekat pintu ikut pula menyerang. Tapi Clement, salah satu tokoh Flores, membantah akhir cerita ini. Menurut dia, justru Roy yang menyelamatkan Nus dari baku hantam tadi. Melalui pintu belakang, Nus dibawa keluar bersama pengunjung lain.
Para penjaga Blowfish sudah mengantisipasi keadaan setelah bentrokan Jumat malam itu. Muhammad Sarip alias Mat, petugas keamanan, menghubungi Kanor Lolo, pemuda asal Flores Ende. Ketika menerima telepon, Kanor sedang berada di rumah kontrakannya di sekitar Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kepada polisi, Kanor mengatakan bahwa dia diminta Mat datang ke Blowfish. Mat merasa terancam setelah peristiwa Jumat malam. Naik taksi, Kanor berangkat bersama rekannya, Bernadus Malelak, David Too, dan Rando Rili.
Sampai di Blowfish sekitar pukul 23.30, mereka diminta Mat berjaga di lobi. Sejam kemudian, Kanor melihat cekcok Roy, Nus, dan Albert. Tiba-tiba lampu mati dan perkelahian meledak. Empat orang ini masuk melalui pintu keluar. “Saya mengambil besi pembatas jalur dan memukul Yoppie Ingrat Tuban tiga kali,” kata Kanor kepada polisi pada 21 Juli 2010. Yoppie adalah anggota rombongan kelompok Kei.
Dalam pemeriksaan polisi, Bernadus mengatakan, dalam situasi gelap, dia mengambil besi. Ia memukul orang yang hendak menyerangnya. Ia lalu menggunakan parang yang tergeletak di lantai untuk membacok lawan. M. Soleh dari kelompok Kei tewas dalam perkelahian itu. Yoppie, yang mengalami banyak luka bacok, dilarikan ke Rumah Sakit Medistra. Dua pekan kemudian dia pun tewas.
Seorang tetua Flores yang menguasai wilayah selatan Jakarta menyatakan, kedua kelompok berebut bisnis pemasok keperluan pub atau restoran, antara lain minuman keras. Sumber Tempo di kepolisian mengatakan, kelompok-kelompok ini juga bersaing memasarkan narkotik. “Ngapain bunuh-bunuhan kalau cuma berebut bisnis pengamanan,” katanya. Menurut seorang perwira polisi, pusat perebutan pengaruh itu melibatkan Thalib Makarim dan John “Kei” Refra. Thalib adalah tokoh muda Flores yang sedang naik daun. Ia menguasai banyak tempat hiburan, termasuk Blowfish, Puro, dan DragonFly.
Sedangkan John, yang dianggap salah satu pemimpin Kei, bergerak di wilayah yang sama. Dia juga ingin menguasai jasa pengamanan. Agar berhasil, John berusaha masuk lingkaran dalam seorang pengusaha yang dikenal dekat dengan dunia gelap. Di sini Thalib kabarnya berada di atas angin, karena lebih dulu masuk ring dalam pengusaha yang sama.
Nus mengatakan, banyak penjaga keamanan Blowfish dari Flores Ende. Pemimpinnya Thalib. Namun dia membantah bila dikatakan bahwa pertengkaran itu dilakukan demi merebut bisnis orang. Adik John, Tito Refra, pun menyangkal. “Kita paling pantang jadi satpam, gengsi kita tinggi,” katanya. Ia mengatakan, teman-temannya merasa terinjak harga dirinya dengan peristiwa di Blowfish. Thalib dan John tak bersedia bersuara. Surat dan telepon permintaan wawancara Tempo tak mereka tanggapi.
Setelah keributan berdarah itu, empat orang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka adalah Kanor Lolo, Bernadus Malelak, David Too, dan Rando Rili. Kelompok Kei, termasuk Tito, selalu mendatangi persidangan mereka.
Dalam sidang pada pertengahan September 2010, anggota kelompok Kei memukul Kanor Lolo dan Bernadus Malelak. Menurut Nus, kawan-kawannya tidak puas karena terdakwa bukan orang yang membunuh Soleh dan Yoppie Ingrat. “Mereka dikorbanin untuk jadi tersangka,” kata Nus.
Sepekan kemudian, teman-teman Kanor dan Bernadus menuntut balas. Menumpang bus mini, puluhan lelaki Flores turun ke pengadilan. Mereka menenteng golok, pedang, dan senjata lain. Bentrok antara mereka dan kelompok Kei pecah di terik matahari. Sekitar 300 polisi yang berjaga tak banyak berbuat.
Dalam perkelahian sekitar satu jam ini, terdengar letusan senjata api. Satu tembakan mengenai dada Tito Kei. Kelompok Kei membalas serangan. Korban berjatuhan. Agustinus Tomas dan Frederik Pilo Let Let dari kelompok Maluku tewas.
Ditemui pada pertengahan bulan lalu, Tito membanggakan luka tembak di dada kirinya. Ia mengatakan terhindar dari maut berkat ajimat yang ia miliki. Katanya, “Peluru hanya tiga milimeter dari jantung saya.”
Referensi: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/11/15/INT/mbm.20101115.INT135106.id.html
No comments:
Post a Comment